Saturday, June 20, 2015

Gadis kecil dengan gaun tutu

Saat itu usiaku 7 tahun, ketika terpana pertama kali melihat sehelai gaun indah berwarna hitam bludru yang dibalut pita merah. Mataku mendelik berkaca-kaca, mulutku melongo, dan kedua tanganku menempel pipi tanda terkejut. Ulang tahunku sudah lewat beberapa minggu lalu, bahkan natalpun masih lama tiba, tapi hadiah ini, yang terpajang didalam lemari seakan mengulurkan tangannya padaku sambil berkata "pakai aku, kamu akan terlihat cantik".

Tangan kecilku menggapainya, menyentuh setiap sisi kain bludru yang lembut nan indah itu. Motif bawahnya polkadot perpaduan hitam dan putih. Model tutu, seperti princess dalam dongeng yang kusuka. Hari itu udara tidak menyengat, tidak pula dingin. Gaun ini akan cocok ditubuhku. Aku membuka resletingnya, memasangkannya pada tubuh mungilku, mengangkat ikatan rambut belakangku dan kemudian menguraikannya. Langkah kakiku bak model berjinjit jinjit menuju arah cermin, mengangkat tinggi dagu, meletakkan tangan dipinggang dan berlenggok kekanan dan kekiri. Dalam hatiku berkata, "cantik".

Dari hari kehari, aku mengandalkan gaun itu untuk menjadikanku cantik. Seolah olah cermin berkata, kamu akan selalu cantik dengan gaun itu. Aku memakainya terus, bahkan dirumahpun, aku memakainya. Terkadang kupadukan dengan kaos kaki putih berenda dengan sepatu pantofel berpita kupu kupu. Aku ceroboh dan suka bersikap semaunya, beberapa kali bajuku terpercik lumpur karena aku suks berlari lari. Aku bahkan suka makan bakso dengan saus yang pedas, tetesannya menumpahi gaunku. Aku sedih, gaunku kotor, tapi aku masih tetap melakukannya, berlari dan berkotor-kotoran.

Suatu hari, mama Ani berkata, kenapa kamu memakai gaun itu. Itu bukan milikmu!
Perkataan itu sayup sayup berlalu, setiap hari, aku mencarinya untuk dipakai, dilemari, dijemuran, di meja setrika, atau mungkin masih direndam dalam cucian. Pernah suatu kali aku khawatir gaun itu hilang, mamaku berkata lagi, itu kan bukan punyamu....sendari acuh aku menganggapnya berlalu, aku tak peduli apa kata mama, karena hanya gaun itu yang membuatku akan nampak cantik. Aku tak punya keberanian untuk menatap cermin tanpa bergaya dan berputar putar dengan gaun yang panjangnya sampai selutut itu.

Ada suatu saat dimana aku merasa tak pantas menggunakannya. Tiba tiba aku melemparnya, kemudian memungutnya lagi, dan kemudian memeluknya erat. Mama yang saat itu berdiri dibelakangku hanya tersenyum. Tatapanku awas, menolehkan wajah kemudian datang padanya sambil bertanya, "ma, gaun ini punyaku kan?". Kemudian wanita itu menatap mataku sambil berkata:
"Itu bukan milikmu", katanya dengan tenang.
"Tapi pakaian itu sangat cocok denganku"
"Ya, tapi dari awal kamu ngga nanya sama mama baju ini milik siapa kan?".
"Apakah aku boleh memilikinya?", tanyaku berjuang. Aku berusaha bertahan. Adrenalinku memanas, airmataku mengalir, tatapan mama mulai serius, dan aku mulai ketakutan.
"Sayang, percaya sama mama. Dengarin mama. Pakaian ini bukan milikmu".

Bagi seorang anak usia 7 tahun, ketika itu, sebuah ujian yang berat. Bahkan sangat menyakitkan. Berhari hari, berminggu minggu, berbulan bulan, gaun itu sudah melekat padaku. Gaun itu merayuku sambil berkata, "kamulah gadis kecilku yang tercantik sejagad raya ini". Dan mama seolah olah menghancurkan harapan seorang anak polos yang menginginkan pakaian itu.

Kemudian mama memelukku sambil berkata, "jangan mengambil apa yang bukan menjadi milikmu, karena tanpa menggunakan gaun itu, kamu tetap anakku yang cantik". Aku tak mengerti apa maksud perkataan mama ketika itu, aku hanya berpikir bagaimana caranya mama mengijinkanku untuk memiliki gaun manis itu. Tak peduli dunia runtuh kala itu, takkan rela pakaian itu lepas dari gengamanku. Tetapi, makin sering aku bertanya, jawabannya tetap sama. "Dengarkan mama. Percaya sama mama".

Keesokan harinya dia katakan hal yang sama, "dengerin mama", sampai suatu hari baju itu sudah benar-benar tidak ada di lemari. Aku menangis, dalam hati, karena mama sudah mengatakan sebelumnya bahwa jangan mengambil sesuatu yang bukan kepunyaanmu. Aku tak menyesali pernah mengenakan gaun tutu itu, dan aku mau belajar nurut sama mama.

Hari itu langit berawan, Sang Arjuna berdiri dengan gagahnya menantang langit, dan senja kemudian berubah menjadi gelap. Disitu, aku masih dalam pelukan mama, mengelus elus rambutku, memberiku ketenangan.
"Dengerin mama, percaya sama mama". Aku tak mengerti tapi aku belajar taat.




- Posted using BlogPress from my iPad

No comments:

Post a Comment