Monday, March 2, 2009

Percaya Cinta Percaya Keajaiban

“ setiap bentuk definisi tidak semakin mendekatkan kita dengan cinta, tetapi malah menjauhkannya”.
–Gede Prama-

Saya tersentak saat membaca buku yang ditulis oleh sang pembicara dan motivator terkenal ini. Sekian lama saya mencari dan terus menemukan apa arti cinta itu sebenarnya. Setelah mengalami kehidupan yang kering dan hampa karena terlalu lelah berusaha memahami apa itu cinta, kendati tetap tidak temukan. Terlalu lama sudah menutup hati untuk mengenal cinta, terlalu lama pula menghindari keagungan cinta itu. Hingga sebuah buku menyentil saya dan menyadarkan bahwa cinta tidak perlu di definisikan dan diartikan. Semakin kita mendefinisikannya, semakin tidak mampu kita menjangkaunya.
Buku “Percaya Cinta Percaya Keajaiban” memberi rangkaian renungan penuh inspirasi yang merevolusi diri saya untuk membuka hati bagi seorang pria serta kedua orang tua. Pertanyaan yang begitu menampar saya “akankah kita biarkan hidup dan kehidupan menjadi lebih pendek dan sempit semata-mata karena kita kering cinta?”. Cinta yang mulai saya pahami bukan sekedar cinta eros (cinta lawan jenis) tetapi cinta yang agung, baik pada diri sendiri, pada sesama dan lingkungan sekitar kita. Betapa indahnya jika kita bisa melihat segala sesuatu dari jendela hati kita hingga kita semakin mengenal kekuatan cinta terdalam yang berasal dari diri kita sendiri. Gede Prama mengajarkan saya banyak hal:

1.    Terbanglah seperti burung
Dari dulu aku selalu merasa seperti burung, terbang bebas, selalu bebas, kemanapun aku pergi aku adalah burung yang bebas merasakan langit ciptaan sang Maha Agung.  Aku juga mencintai alam, alam adalah bagian dari hidupku, bagian dari keceriaanku. Menurut Gede, alam adalah kearifan. Lihatlah matahari yang bangun di pagi hari dengan sangat rajin, dan menyinari siapa saja tanpa pandang bulu. Bumi, ia tidak saja diinjak dan dibongkar kekayaannya, tetapi tidak pernah keluar dari hokum member, memberi dan memberi. Laut, tidak saja menaungi ribuan kehidupan, tetapi juga menerima saja apa yang dialirkan kepadanya. Hutan, lebih dari sekedar kumpulan pohon-pohon besar, melainkan juga sebagai payung. Banyak sekali kehidupan disana. Udara, memang tidak kelihatan, tetapi tanpa udara semua manusia dan kehidupan bakal musnah. Tapi satu hal baru kupelajari, “Siapa saja yang hidup tanpa pernah mencintai dan dicintai, ia mirip dengan seekor burung yang tidak pernah terbang, anjing yang tidak pernah berlari, dan ikan yang tidak pernah berenang. Terbanglah seperti burung, dan andapun akan sampai di tempat indah yang sangat jauh”.

2.    Berpelukan mesra dengan Kesedihan
Digabung menjadi satu, tidak ada kehidupan yang tidak diwarnai oleh kesedihan. Diundang maupun tidak , ia akan senantiasa datang. Banyak kejadian bahkan terbukti, semakin ia semakin ia dibenci  dan ditakuti, semakin ia senang dan rajin berkunjung ke diri kita. Maka, sengsaralah hidup mereka yang membenci kesedihan. Khalil Gibran, sang penulis sufi pernah menulis cantik tentang hakikat kesenangan dan kesedihan, “Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka kedoknya. Tawa serta airmata datang dari sumber air yang sama”. Bagaikan dua saudara kembar yang melakukan kegiatannya secara bergantian, keserakahan ataupun sebaliknya kekhusukan doa manusia manapun tidak akan bisa membuat dua saudara kembar ini berpisah . Ia seperti dua sayap dari seekor burung. Dibuangnya salah satu sayap, adalah awal dari celakanya ‘burung’ kehidupan.

3.    Membuang label, membuang penderitaan
Manusia lahir terbagi atas dua bagian yaitu kesejatian dan peran (label). Pada saat kita baru lahir, kita datang dengan kesejatian. Badan telanjang, jiwa yang bersih, tangis yang melengking, semuanya tanpa label dan peran. Nama, jabatan, kekayaan, keterkenalan, pendidikan datang kemudian setelah kita memasuki dunia peran dan label. Kunci membuang penderitaan dan memperoleh ketentraman adalah bagaimana sejauh kita bisa melepaskan diri dari label dan peran.

4.    Keluar dari Ketidakpuasan
Gede Prama membagi tingkat ketidakpuasan menjadi tiga sebab yaitu, tingkatan pertama, orang yang memiliki masalah besar dengan dirinya sendiri. Tidak sedikit bahkan yang menyakiti dirinya semumur hidup. Tingkatan kedua adalah orang yang senantiasa membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih tinggi. Tingkatan ketiga adalah kehidupan tanpa pembanding.


No comments:

Post a Comment