Tuesday, March 30, 2010

Kisah si bolang: batu badoan dan randu alas

Hidup adalah petualangan. Semua ada tujuannya. Entah apapun tujuan itu, prosesnya yang membuat kita belajar dan ceritanya yang bisa menggairahkan diri. Terkadang kita bisa menertawakan kegilaan ini, namun sesaat kita merindukan masa-masa itu.

Air, sungai dan hutan adalah bagianku saat ini. Begitu dekat, begitu erat dan aku sangat menikmatinya. Bau hutan yang natural, nyanyian burung di malam hari, semburan bintang, riak air sungai dan sejuta rahasia dibalik alam yang Tuhan berikan. Aku laksana dejavu menuju belasan tahun lalu, si kerdil yang selalu curious.

                                                                     ***
Malang, 1993

Batu badaong, batulah bertangkai
buka mulutmu, terangkan beta
buka mulutmu terangkan beta
Buatlah apa beta tinggal sendiri
sedangkan Ibu sudah tarada
hidup sendiri talalu susah

Aku masih kecil, seorang gadis kecil berusia 8 tahun, berkuncir dua dengan kaki penuh koreng. Berseragam merah putih berjalan cepat keluar dari kerumunan anak SD sambil mengakhiri salam perpisahan. Aku memberi kode pada Anita dengan melingkarkan telunjuk dengan ibu jariku pertanda sampai bertemu nanti. Siang itu, aku sungguh ingin cepat pulang, sambil menenteng tas ransel usang, rambut berbau matahari, kaki kecilku berlari menuju rumah.

Bau rendang tercium dari depan rumah, saat beberapa meter langkahku menuju pintu. Mama Ani sudah menungguku menyiapkan makan siang. Sepiring rendang kulahap cepat-cepat, meski ada sayur bayam disebelah, namun tak kupedulikan. Aku sangat tidak menyukai sayuran. Misiku saat ini yaitu, segera cepat makan, berganti pakaian dan terjun ke tempat yang sudah kurencanakan bersama temanku, Anita, ke sungai Brantas.

Nama anak itu Anita Muji Astuti, meski telah belasan tahun tak menemuinya, tetapi aku masih mengingat namanya dengan jelas. Dia memiliki tulisan yang bagus, barisan gigi-nya besar besar, rambutnya tipis berwarna merah, dengan tawanya yang kencang sekali. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat masih kuliah 3 tahun lalu, saat pulang kampung, tiba-tiba dia memanggilku dari sudut jalan. Kini dia menjadi pedagang pecel tempe penyet di perempatan jalan. Pertemuan kami hanya sampai disitu setelah 10 tahun tidak bertemu.
Kami adalah petualang kecil diwaktu SD. Hutan dan sungai sudah kami lewati, kami bermain lumpur, berenang di sungai yang kotor, memanjat pohon, mencuri buah, menapaki hutan yang tak jauh dari rumahku, melewati jembatan rapuh, dan mendaki bukit. Kami punya impian-impian gila, jika sudah naik kelas 5, maka saatnya kami berencana kabur dari rumah dan berkeliling dunia.

Disebuah setapak tak jauh dari anak sungai Brantas, kami berjalan mengendap-endap
“May, pelan pelan, kita harus mencari lubang itu, tapi ingat yang ada embunnya”, perintahnya.
Aku menyelinap disemak-semak belukar, keluar dari jalan setapak, mencari lubang yang akan membawa kami kedunia lain itu.

“May, disini, aku sudah temukan”, bisik Anita. Aku bergegas menuju arahnya tak jauh dari lereng curam.

“Kita harus mencari bunga yang sudah terkena hujan semalam, embun-embunnya dapat membawa kita memasuki lubang ini. Sebenarnya kerajaan didalam lubang ini memang ada, beberapa hari lalu ada bapak pencari rumput yang menghilang disekitar sini, tubuhnya tertarik masuk ke dalam lubang ini. Kamu harus hati-hati karena belum tentu kita bisa kembali lagi jika masuk kedalam kerajaan dibawah bumi ini”, cerita Anita penuh serius.

Si Polos diriku percaya oleh cerita dongengnya. Karena melaui dongenglah, kami terus berkelana mencari kebenaran yang sebenarnya tak pernah kami dapatkan. Tapi terpuaskan oleh sebuah penaklukan dan tantangan menghadapi wilayah desa kami yang masih dingin dan rimbun.

                                                                              ***

Sungai Brantas memang sungai terpanjang di Jawa Timur, lokasinya tidak jauh dari rumahku, kurang lebih 2 km. Tempat itu menjadi idola kami untuk melakukan petualangan. Kami berenang, kami menelusuri liku-liku arus bak petualang, kami seperti detektif mencari lubang menuju kerajaan, kami punya gua rahasia yang sebenarnya adalah saluran pembuangan air taman rekresasi pemandian yang berada persis sebelah sungai Brantas. Dan satu hal yang membuat kami penasaran, cerita tentang Batu Badoan.

Pernah dengar tentang Batu Badoan?, dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, Batu Badoan merupakan dongeng Indonesia dari Maluku yang mengisahkan tentang batu raksasa bertangkup yang memiliki mulut sangat besar. Kisah seorang wanita yang ditinggalkan oleh suaminya yang menjadi menantu Raja Rote. Namanya Bunameni, khalik yang mengutuk suaminya menjadi buaya membuat Bunameni harus tabah bersama kedua anaknya. Seperti ini kutipan legenda-nya:

Di rumah Bunameni telah tersedia beras sebakul. Jika ditanak sebutir saja, butir beras menjadi nasi yang cukup dimakan sekeluarga. Bunameni hidup dengan kedua orang anaknya, yaitu Matia dan Lilo. Keajaiban beras itu tidak pernah diceritakan kepada anaknya
Pada suatu hari, Bunameni diajak tetangganya mencari ikan ke laut. Ia berpesan kepada Matia agar menanak sebutir beras saja. Pesan itu tidak diindahkan Matiah. Ia lalu mengambil seliter beras lalu ditanaknya. Ketika air beras mendidih, tumpahlah airnya. Akhirnya, periuk berubah menjadi sebuah mata air, menjadi anak sungai hinggga ke tepi laut.

Bunameni sangat marah. Ia berkata kepada anakanya, “Matiah, Ibu mau pergi untuk selama-lamanya. Lebih naik Ibu tinggal dalam perut Batu Badaon dari pada tinggal bersama anak yang tak mau mendengarkan nasihat orang tuanya.

Bunameni pergi mendapatkan sebuah batu besar dilereng bukit. Konon batu itu datang sendii dari Hindia belakang karena penduduk disana tidak lagi memuja nya. Disebut “batu Badoan” karena tertutup oleh banyak daun. Pada batu itu ada pintu yang bisa membuka dan menutup sendiri. Bunameni menyanyi. Pintu terbuka. Bunameni lalu masuk. Tiba-tiba matia menyusul dengan menggendong adiknya. “Ibu, jangan masuk!” seru matia. “Matia sudah bertobat, Bu!”

Mendengar suara Matia itu, batu pun cepat menutup mulutnya. Hingga rambut Bunameni tertinggal di luar. Matia meletakan adiknya di tanah. Ia lalu menyanyi, namun ibunya tidak mau keluar. Matia pun meninggalkan batu itu seraya berkata, “Adiku, ibu telah membenci kita karena kita telah mengabaikan pesannya”.

Dan kami yakin, batu Badoan itu pasti ada. Maka sungai brantas menjadi pilihan kami untuk melakukan investigasi membuktikan apa yang diajarkan bu Narmi, guru bahasa Indonesia kami bukanlah sekedar dongeng.

Menyusuri sungai Brantas memang menyenangkan. Sungainya tidak terlalu dalam, asal kita melewati pinggirannya saja. Setiap bebatuan kami lewati, melewatinya juga perlu berhati-hati, karena jalan didalam air licin dipenuhi algae. Perjalanan yang kami lalui sudah lewat dari 5 km, tetapi batuan besar yang paling besar diantara lainnya belum ada. Meski banyak batuan besar disitu, tetapi kami tidak yakin itu adalah batu Badoan.

Hari sudah semakin sore, meski beberapa batu sudah kami lewati, namun semua batu mulutnya seperti menempel ditanah. Apa mungkin batu ini bisa menganga? Beberapa kalimat sudah kami lakukan: “Batu badaong, batulah bertangkai, buka mulutmu, terangkan beta. buka mulutmu terangkan beta. Buatlah apa beta tinggal sendiri, sedangkan Ibu sudah tarada, hidup sendiri talalu susah”.

Tetapi batu tak terbuka.

“Nit, berarti berdasarkan investigasi kita hari ini menandakan Batu Badoan tidak berada di sungai Brantas. Mungkin benar batu itu hanya berada di Maluku”, kataku mencoba menyimpulkan.

“Atau May, bisa jadi batu Badoan sudah tidak biasa menganga lagi, itu perintah Khalik bahwa Bunameni dan kedua anaknya tidak akan keluar lagi”, opini Anita –selalu tak mau kalah-. Meski nilai pelajaranku selalu jauh lebih bagus dari dia, tetapi perihal petualang di alam dan cerita cerita takhayul adalah keunggulan dia. Dan bodohnya si Peringkat Lima Besar ini selalu percaya dengan apa yang di katakannya.

Menjelang malam kami kembali menuju jalan yang sama, hanya saja jika tadi melewati arus sungai, kini jalan setapak pinggiran sungai yang kami lewati agar lebih cepat kembali ke rumah.

                                                            ***

Sebenarnya aku tak lebih dari anak kurus kerempeng yang penyakitan. Penyakit ashma memang penyakit langganan, setiap bulan tidak pernah absen ke dokter dan setiap sore segelas susu merk “Dancow” kuteguk demi menggemukkan badan selembar ini.

Rumahku adalah rumah pertama di wilayah itu. Jika hendak pergi ke perkampungan, kami harus melewati kebun singkong kami yang terletak belakang rumah, menyusuri jalan kecil nan becek. Sesampai kandang ayam yang bau milik tetangga hingga tembus di perkampungan. Disebelah kiri masih berupa hutan, didepan kebun salak, disebelah kanan kebun kelapa dan sawah. Tidak menyangka jika belasan tahun kemudian wilayah ini menjadi sangat ramai dan dipenuhi oleh pendatang khususnya mahasiswa yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang.

Desaku memang sangat dingin dan nyaman. Beberapa kilometer dari situ terdapat Randu Alas, letaknya dilereng bukit, tak jauh dari kuburan masyarakat. Randu Alas secara harafiah dalam bahasa jawa berarti Hutan Pohon Kapuk. Tempatnya sangatlah sepi, jauh dari perkampungan. Namun, kisah randu alas yang tak pernah bisa ditebang itu santer dibicarakan teman-teman di kelas.

“Selama ini, disekian banyak pohon randu disitu, hanya satu yang tak pernah bisa ditebang, lha disitu ada penunggunya kok”, cerita Anita. Lagi-lagi dia yang gak pernah ketinggalan kisah-kisah takhayul nan mistis.

Aku dan Anita tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, tentu saja aku ingin memastikan kebenaran itu.  Perjalanan menuju lereng bukit itu cukup melelahkan, kami harus berjalan selama 1 jam dengan jalan yang menanjak. Sesampai diatas, dari jauh sudah tampak kemegahan sang Randu Alas yang perkasa itu menurut legenda. Saat itu musim kemarau, samar-samar nampak berbunga. Tumbuhan itu berukuran sangat besar. Tidak sedikit pohon randu di sekitar desa kami yang ditanam disepanjang jalan. Serat yang dihasilkan biji pohon ini menghasilkan kapuk/kapok untuk membuat bantal atau guling. Pohon ini tumbuh hingga setinggi 60-70 m dan batangnya bisa mencapai diameter 3m. Jika musim semi, kapuk-kapuk itu bertebaran dibawa sepoi angin menghiasi jalanan bagai salju.

Kami sampai di lokasi yang dimaksud, hanya ada beberapa pohon randu yang ada dihadapan kami. Namun hanya satu yang besar, kami menduga randu alas itulah yang melegenda di desa kami. Pohon yang tak kan pernah bisa ditebang bahkan badai menghajarnya. Satu meter dari pohon itu terdapat hamparan kuburan yang angker. Sedikit lagi kami mendekat ingin menyentuh batang pohon itu tiba-tiba hujan turun membasahi kami. Kami melepas sandal jepit dan lari pontang panting ketakutan. Ternyata kami tidak takut pada kuburan tapi pada hujan :).

                                                                 ***
Lima belas tahun sudah kulupakan kisah Randu Alas yang fenomenal itu. Bahkan aku sudah lupa bagaimana keperkasaan dia menolak segala jenis kapak dan badai. Tetapi mungkin dongeng ke-angkeran-nya benar.

Saat kembali liburan ke kampung halamanku tahun 2007, Papa mengajak jogging di pagi hari. Kami menelusuri jalan-jalan beraspal yang mendaki, jalan yang belasan tahun lalu sering kulalui. Namun saat ini di situasi yang berbeda. Banyak perumahan dan villa dimana-mana, nampak sangat asri dan nyaman. Kami berlari sampai ujung lereng bukit, sampai samar samar melihat kembali sesuatu yang dulu tidak asing bagiku. Ya…Randu Alas itu masih bermegah ditempatnya. Hanya nampak lebih tua dimakan usia, aku tak melihat dia berbunga, bahkan tak berbuah, tapi dia tetap gagah, berdiri bersama satu buah pohon lainnya. Yang tersisa hanya itu, tetap dengan kuburan disampingnya yang sudah di bangun dinding tembok, dan tak jauh dari situ berjejer real estate yang menawarkan perumahan lereng bukit yang nyaman. Dari atas nampak kemegahan gunung Arjuna yang dikelilingi kabut pagi hari.

Rasa penasaranku belasan tahun lalu seharusnya benar terjawab. Dia memang perkasa hingga kontraktor yang haus uang sekalipun tak berani menebangnya. Aku tersenyum sejenak saat mengenang masa-masa itu. Perjalanan si bocah petualang demi menemukan batu badoan dan keperkasaan randu alas yang sangat menggairahkan. Tapi petualangan kecil itulah yang terus memicuku menuju tantangan yang lebih besar lagi belasan tahun sesudahnya. Tantangan yang terus kucari untuk mendapatkan saripati hidup!

No comments:

Post a Comment