Monday, January 7, 2013

Panjul, sahabat baruku

Aku punya sahabat baru. Namanya Panjul. Perkenalan pertama kami saat aku duduk di balkon kost di hari pertama ditahun 2013. Aku baru menyadari bahwa sebenarnya Panjul tinggal didekat kediamanku sudah sejak lama. Tapi entah mengapa, sore itu aku dipertemukan dengan dia.

Setelah 6 bulan tinggal di kediaman ini, tidak sekalipun aku sempat merebahkan diri di balkon depan kamar. Rasanya hari-hari lalu sangat disibukkan dengan aktifitas, saat waktu renggangpun, aku hanya mengurung diri dikamar menikmati kesendirian. Namun, sore itu, entah angin apa yang membawaku terduduk beberapa menit di depan balkon, menikmati mendungnya langit, mencium bau tanah yang basah sisa hujan siang tadi.

Lalu datang dan hinggap seekor burung tak jauh dari pohon mangga depan rumah, dipatuk-patukkannya paruh pada batang pohon itu, mengarahkan matanya padaku seolah-olah menyapa dan berkenalan denganku. Tertegun aku memperhatikannya tanpa mengedipkan mata. Kemudian dia terbang bebas dan lepas, mungkin kembali ke sarangnya yang tak jauh dari situ, mungkin kembali pada anak-anak burungnya yang masih belajar bercicit.



Sejak itu, aku mengenalnya sebagai Panjul. Dia pandai bernyanyi. Senandungnya selalu terdengar setiap pagi, dan kemudian muncul lagi di sore hari, hingga hilang ketika hari berganti gelap.


Setiap pagi telingaku mencari-cari suara Panjul yang khas. Berkali-kali aku mendengarnya. Aku terbangun dan memulai aktifitas dengan semangat. Di sore hari yang letih, manakala baru tiba di kediaman, Panjul menyapaku dengan nyaringnya.

Panjul pada akhirnya menjadi sahabatku ketika aku mulai membuka diri dengan bercerita mengenai sahabat-sahabatku. Pembicaraan ini dimulai ketika aku berkata:

“aku merasa selalu gagal menjadi sahabat.”
“apakah sahabatmu yang mengatakan padamu?”

“tidak, mereka tidak pernah mengatakan itu. Aku hanya merasa sejak aku kecil hingga sedewasa ini, aku tak bisa menjadi sahabat yang baik bagi mereka”

“lalu mengapa kamu men-cap dirimu gagal?”

“menurutmu sahabat itu seperti apa?”, kali ini aku makin membuka diriku.

“Sahabat itu memperkuat lengan orang lain, ketika kita ingin mencapai hasil – hasil yang maksimal, rasanya ingin itu terjadi juga atas diri sahabat kita”.

“aku selalu pergi, aku selalu taka da ketika mungkin mereka memerlukanku.”

“ketika melakukan kesalahan, seorang sahabat seharusnya malah lebih leluasa untuk menegur, karena itu akan membawanya berubah kearah yang lebih baik”.


Ketika itu aku terdiam, si Panjul ternyata sangat bijak. Apa yang dia katakanya semakin meyakinkanku bahwa aku tidak pernah jadi sahabat yang baik. Kearah yang lebih baik? Masa-masa laluku justru membiarkan sahabat-sahabatku mengarah kesebaliknya.

“Siapa nama kamu?”

“Panjul”

“Nama yang lucu”, aku tertawa kecil, namun kembali menatap dia yang tetap asyik memainkan dedaunan.

“Jul, ketika aku masih SD, sahabat-sahabatku mem-bully-ku. Tetapi aku tak pernah sekalipun dendam pada mereka”.

“Bagus, kamu sudah tepat untuk mengampuni mereka, lalu kenapa kamu nampak sedih karena merasa bukan sahabat yang baik?”

“Aku merasa bukan sahabat yang baik ketika itu sahabatku sejak SD menjadi pecandu narkoba, aku akhirnya merasa sedih ketika sahabatku sejak SMA harus hamil diluar nikah dan dia mengalami masa berat secara ekonomi karena ketidaksiapannya.”

“Kamu merasa tidak melakukan apa-apa terhadap mereka?”

“Iyah, aku terlalu cuek, sehingga aku hanya menyesalinya ketika mereka sudah terjatuh. Ketika semuanya sudah tidak bisa dirubah atau mengembalikan waktu kesebelumnya. Masih teringat juga, aku sedih ketika sahabatku sejak kuliah pernah menjadi teman tidur seorang duda yang jauh lebih tua darinya, kemudian pria itu meninggalkannya begitu saja. Aku kesal tapi entah ketika itu aku hanya terdiam, hanya menjadi pendengar yang baik tetapi tak melakukan apapun. Aku pernah menangis ketika sahabatku yang lain harus melahirkan anaknya dikala ayahnya tak mengakui bayi itu. Aku tau, mereka sempat mengalami masa-masa berat dan sedih. Mereka pasti sempat merasa kesepian. Tapi aku ga pernah ada buat mereka, aku ga ada disana, aku seolah menutup telinga dan mataku, seolah-olah ini bukan urusanku sendiri. Lalu aku ini siapa? Apakah aku sahabat mereka? Atau memang selama ini aku tidak pernah menjadi sahabat bagi mereka”.

“Dan kamu baru saja menyadarinya?”, tanyanya.

“iyah, setelah aku menyadari bahwa aku sekarang tak punya sahabat”, dengan wajah lemas.

“Kamu tau ga kenapa kamu masih dikasih tahun yang baru? Supaya kamu masih dapat kesempatan untuk menjadi sahabat yang baik. Lihat kedepan, jangan kebelakang. Lihat yang ada didepanmu sekarang”.

“Panjul, kamu mau jadi sahabat baruku?”

“Kamu bisa mendapatkan banyak sahabat, termasuk aku”.

Dan pembicaraan kami sore itu berakhir dengan warna langit yang menjadi gelap. Panjul harus pulang ke sarangnya sebelum gelap semakin gulita. Petang itu Panjul memberiku semangat baru. Dia memberiku kado baru di awal tahun ini. Rasanya semuanya semakin sempurna dengan keberadaan dia  menemani hari-hariku di rumah.

Balkon kost. Bandung, 7 Januari 2013.


No comments:

Post a Comment