Saturday, October 13, 2012

A cup of tea

Aku sedang ingin membuat pengakuan,
Kejujuran yang menyadarkan bahwa hidup itu memilih apa yang menjadi panggilanmu, bukan karena orang memanggilmu. Bagaimana kamu tau bahwa itu panggilanmu atau bukan? Hanya dirimu yang tau. Bertanyalah pada dirimu sendiri dengan jujur. Bilamana orang memanggilmu dan kamu menganggap itu adalah panggilan hidupmu, NAMUN kamu merasakan tidak nyaman dan aman, berarti itu bukan panggilanmu. Panggilanmu akan mendamaikan dirimu sendiri, menjadi dirimu sendiri, dan menikmati itu sebagai bagian dari hidupmu.
Aku menyukai teh, itulah kejujuran yang ingin kusampaikan kepada kalian. Selama ini aku hanya bisa menikmati setiap aroma dan rasa TEH, bukanlah KOPI. Aku pikir aku menyukai kopi, atau lebih tepat aku berpura-pura menyukai kopi. Buatku, semua penikmat kopi dengan segala filosofi-nya adalah “keren”. Bahkan dunia mengakui kopi sebagai beverage yang unik dan khas. Mereka mencari-cari sampai ujung dunia, berkelana demi mendapatkan kenikmatan kopi. Bahkan filosofi kopi di klasifikasikan berdasarkan karakter dan perasaan si penikmat. Ada yang mengatakan bahwa definisi kopi adalah ketenangan. Disana mereka bersahabat dengan kopi dan kopi akan menenangkan mereka.
 
Aku merasa sendiri, karena dunia hanya menyukai kopi. Dimanapun, di café-café maupun warung kopi di jalanan. Mereka selalu menghadirkan kopi sebagai jualan utama. Datanglah ke StarBuck, Oh Lala, Kedai kopi atau tempat nongkrong dan gaul lainnya, mereka menawarkan berbagai cita rasa kopi, mulai kopi Toraja, kopi Sumatra, kopi Papua, kopi luwak hingga kopi dari luar seperti Capuccino. Meskipun mereka menjual teh, itu hanya pelengkap, bukan utama. Sosok “kopi” terlalu keren dan aku merasa terkubur dalam dalam mengamati betapa aku terlahir di dunia ini tak mampu menikmati kopi dengan seutuhnya. Aku menikmati TEH.
Aku harus jujur mengatakan bahwa aku penikmat teh. Mulai dari green tea atau jasmine tea yang mahal hingga teh seduh tradisi bangsa. Catherine Douzel mengatakan bahwa  “A cup of tea represents an imaginary voyage”. Aku suka melihat hamparan kebuh teh yang hijau, dan melihat wanita-wanita paruh baya menggunakan caping topi petani memetik pucuk daun teh setiap pagi meyingsing. Teh begitu sederhana dan menenangkan. The bisa membuatmu bersemangat tapi bisa juga menenangkan. Bahkan ketika denyut jantungmu kencang berdebar karena tegang, takut, atau nervous, ketika menikmati segelas teh hangat, tiba-tiba perasaanku menjadi tenang. Aku menemukan dan seharusnya aku menyadarinya dari dulu bahwa aku menikmati aroma dan rasa TEH.
Tetapi memang minum teh tidak sekeren kopi dalam konteks gaya hidup, kalau bicara kesehatan tentu teh akan lebih popular, tapi tidak untuk lifestyle. Kini biarkah aku menjadi sesuatu yang membuatku nyaman. Dari dulu aku menutup wajahku dengan topeng dengan berpura-pura menikmati kopi ketika bergaul dengan teman-teman nongkrong di cafe. Tetapi sekarang aku ingin jujur pada diriku sendiri sekarang bahwa teh memberiku jawaban atas panggilanku. Apapun itu jujurlah pada dirimu sendiri, terhadap apa yang kamu lakukan. Jika tidak membuatmu nyaman dan tak menikmatinya  meskipun itu nampak “cool”, mengapa harus memaksakannya?

No comments:

Post a Comment