Thursday, April 2, 2015

kamu tetap cantik bagiku

Pria paruh baya itu duduk termenung menatap wanita yang berbaring dihadapannya. Rambutnya terlihat keputih putihan dengan mata sayup nan lelah. Semalaman dia terus terjaga, kerut di sekitar mata nampak berjejer rapi. Lelaki itu tetap tampak gagah, tubuhnya tinggi dengan perangai yang ramah. Kulitnya terang dengan suara medhok jawa ciri khas keturunan tionghoa.

Lelaki itu hampir tak pernah meninggalkan seorang wanita yang kini tak berdaya diatas tempat tidur. Dia terus memandang wanita itu, sesekali memegang jemarinya yang sudah menua. Tak ada suara yang dilontarkan sang wanita, matanya hanya sayup dan tubuhnya lunglai bagai mayat hidup. Pria itu sesekali menyeka rambut si wanita yang terkadang menutup sebagian pipinya. Beberapa kali mencoba menyuapi walau hanya dua sendok makan, sesekali tangannya memijit kaki sang wanita. Rambutnya sudah rontok, memutih dan terlihat mulai membotak. Ya, tubuhnya yang menciut dan rambutnya yang hilang dihajar habis oleh kemoterapi. Wanita itu sedang berjuang melawan maut.

Sang pria begitu sabar menunggunya, terduduk disamping ranjangnya dan terkadang membisikkan sesuatu di dekat telinganya. Apa yang kau pikirkan om? Apa yang kau rasakan?
Apakah masa tua sebegitu bengisnya?

***

Wanita yang dihadapanku ini begitu cantik, kulitnya begitu halus dan lembut. Bahkan tak ada cacat cela. Dia mahakarya sempurna dari sang pencipta untukku. Gadis itu pernah membuatku tergila-gila, bahkan buta aku dibuatnya. Rambutnya hitam kelam, terurai hingga punggungnya yang kecil. Dia tergambar dalam puji pujian Kidung Agung. Matanya penuh cahaya, dan bibirnya merah bagai buah cherry. Dia tersenyum percaya diri, tangannya memegang apel mandarin, kemudian perlahan mendatangiku sambil berkata, "mau?", lututku melemas. Apakah Hawa saat ini menawarkanku buah pengetahuan yang baik dan yang jahat? Tapi bukan dosa yang kemudian kami hadapi, tapi pernikahan kudus. Pada akhirnya dia menjadi istriku.

Aku memang pria yang beruntung. Wanita yang menemani hari hariku ini menghadiahkanku tiga putra putri. Dia penyabar dan penolong yang setia. Dia bahkan selalu sempurna bagiku. Kami terus menua karena waktu cepat berjalan. Anak anak kami menikah, dan kini kami adalah kakek dan nenek dari dua cucu. Betapa sempurnanya hidup ini, terlebih wanita itu, yang selalu memiliki senyum yang tak berubah sejak pertama kali melihatnya.

****

Usia indah ini menguji cinta kami. Wanitaku berperang melawan penyakitnya. Malam demi malam kulewati, di dalam ruangan yang ditutupi tirai. Sehari hari hanya suster dan dokter yang kutemui. Lorong rumah sakit itu begitu akrab dengan kami. Tempat tidurnya mengarah pada jendela yang membuat secercah sinar mentari masuk. Dia terus mengandalkan tabung oksigen, bersama selang selang sialan itu. Tubuhnya penuh luka dan lebam, terlalu banyak jarum dan obat yang melukai kulitnya. Tubuhnya kini hanya tulang berbalut kulit, wajahnya nampak 20 tahun lebih tua dari usianya, bibirnya membengkak, dan tulangnya membungkuk.

Aku menggendongnya ke toilet, dia bahkan tak kuasa membuang kotoran. Tubuhnya begitu ringan, lebih ringan dari pertama kali aku membopongnya ke pelaminan. Aku tak bisa lagi mendengar suara merdunya, setiap kata yang harus dia ucapkan sekarang penuh siksa baginya. Hari harinya penuh dengan tangis, tak sanggup dirinya melawan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Tapi dia berjuang, karena ada seseorang yang tak boleh dia tinggalkan. Aku, pria-nya.

Aku terus menunggunya, sama seperti detik detik kedatangannya menghampiriku sore itu. Aku terus menunggu senyumnya, sama seperti ketika pertama kali dia menyapaku. Aku ingin terus memegang tangannya, seperti pertama kali aku menyentuh sedikit jemarinya ketika menerima apel.

Dia cantik. Dia terus menjadi yang cantik bagiku. Bahkan di usia senja ini, kamu bahkan semakin cantik bagiku.

***

Terinspirasi dari seorang pasien yang saya temui di RS Santo Borommeus Bandung.
Bahkan sampai meneteskan air mata liat om dan tante itu. Terharuuuuu...

Bandung, 2 April 2015





- Posted using BlogPress from my iPad

No comments:

Post a Comment