Sunday, June 16, 2013

Man's Heart

It is a big question that always comes to my heart in every minute of every breath of my life.
Inside of man’s heart. I’ve never known.

The reality is i stabbed a man in the heart. :(

28 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dilalui. 28 tahun adalah waktu yang panjang untuk membentukku. Seharusnya aku sudah cukup dewasa melihat sesuatu. Aku bukanlah gadis 10 tahun yang lalu yang berkali-kali menyanyikan lagu Britney Spears, “I am not a girl, not yet a woman”.

Aku bukan lagi gadis 10 tahun lalu yang sangat takut melihat kenyataan bahwa dunia ini begitu mengerikan. Aku seharusnya bukan pula gadis seperti 10 tahun lalu yang menganggap aneh makhluk ciptaan Tuhan: Laki-laki.

Aku yang sekarang harus berbeda. Aku sudah bisa bersahabat dengan dunia ini. Proses sepuluh tahun ini membentuk aku jadi lebih bijaksana. Kadang aku harus tertawa, apakah aku seperti tokoh Tom dalam novel berjudul “The Hopeless Romantic’s Handbook”. Sosok yang penakut dan tak bisa bersahabat dengan kenyataan. Si anti komitmen yang toh akhirnya bisa berubah. Hai, Tom, aku ingin sepertimu, yang terbuka matanya menyadari bahwa ketakutan itu hanya akan menyiksamu.

----
Papa, laki-laki pertama yang kukenal dalam hidupku. Meskipun aku tak pernah tau isi hatinya. Bagiku dia adalah sosok yang sangat misterius. Tetapi hanya dia pria satu-satunya yang kukenal sejak kecil, lelaki lainnya datang dan pergi begitu saja, tanpa aku mengetahui hati yang sebenar-benarnya didalam diri mereka.

Karena keegoisanku, karena ketakutanku. Para pria datang dan pergi dalam kehidupanku. Hidupku berakhir dengan kembali menyadari hanya papa yang tak pergi dalam hidupku. hanya satu pria: Papa.

Papa, aku pertama kali terkaget ketika melihatnya menangis bagai anak kecil yang meraung-raung ketika Oma (ibu Papa) meninggal. Saat itu usiaku 5 tahun. Tapi adegan itu entah mengapa tak pernah terlupa dalam ingatanku. Dia nampak rapuh, pilu, tak berdaya dan hilang harapan. Semua orang mendekatinya, berusaha menenangkannya hatinya yang hancur. Dari kejauhan aku hanya mengamatinya dan menyadari. Dia Papa. Ya, isi hati laki-laki ketika kehilangan ibunya. Hancur.

Hingga bertahun-tahun setelah itu, aku tak pernah lagi melihat bahkan membaca perasaannya. Kami sangat jarang berbicara. Aku tak pernah tau kapan dia sedih, kapan dia senang, kapan dia ingin disayang atau menyayangi. Dia begitu dingin. Dan aku tak dapat mengenalnya. Aku tak pernah bisa membaca isi hatinya. Satu-satunya pria dalam hidupku yang kukenal.

Mungkin satu adegan lagi yang cukup mengagetkanku setahun yang lalu, ketika dia memelukku menangis sambil berteriak “Oh Yesus”. Suatu ketika dimana aku sedang terbawa emosi amarah yang tak pernah kulontarkan didepan kedua orang tuaku. Dan aku menyadari betapa aku manusia biasa yang bisa terbawa kembali ke masa lalu ketika ada pemicu yang mengusikku. Dia menangis kembali, persis seperti yang kulihat 22 tahun yang lalu. Wajah yang memerah dengan linangan air mata disertai teriakan. Hai Pa, sungguh aku tak bisa membaca hatimu, namun aku sungguh tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa cintaku padamu.

Bagaimanapun, hanya kamu satu-satunya pria dalam hidupku. Karena semua datang dan pergi.

Bandung, Kost hegarbudi no. 1
10 years a long way from home

No comments:

Post a Comment