Monday, March 2, 2009

Dibalik Gempa Jogja 2006: Saat Mulai Mengenalnya ...

Malam kota Yogyakarta tak pernah sepi, dibalik lelapnya ribuan rumah ditengah temaran bintang-bintang kecil, riuh suara techno melalui gesekan DJ disebuah nite club yang terletak di Jln. Adi sucipto memecah keramaian Jogja. Semua orang meneriakkan “toast” sambil mengangkat sebotol Jack Daniels dan se-pitcher Long Island. Dentuman nada-nada progressive memecah bersamaan dengan nyaring tawa clubbers yang asyik bergoyang. Akhir dari acara Indiefest di Jogja malam itu masih diteruskan dengan DJ show till drop. Waktu menunjukkan pukul 01.00 pagi dini hari, 27 Mei 2006. Aku rasa tubuhku terlalu lelah, beberapa teman kampus masih betah ditengah kerumunan, aku pamit pulang. Entah malam itu aku benar-benar tidak merasakan sesuatu yang aneh dengan Jogja. Tidak pula menyangka akan terjadi kejutan besar yang memakan ribuan korban. Aku sampai di rumah, dan tertidur bersiap ujian pukul 09.00 pagi ini, masih ada 7 jam waktuku untuk beristirahat.

“aku melihat wajah dia dimimpiku...em...ini pertama kalinya aku memimpikan dia...kenapa tiba-tiba aku bermimpi dia?”, hatiku berbicara demikian sambil menyaksikan adegan mimpiku bagai di bioskop, melihat dia bersama teman-teman di Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi lainnya. Tiba-tiba kamarku bergetar kencang, aku tersentak terbangun, berdiri secara reflek dan terpelanting ke dinding. “Oh, Jesus Christ”, sahutku memohon pertolongan, tubuhku beberapa kali tak mampu berdiri seimbang, bagaikan naik Halilintar. Waktu menunjukkan Pkl. 05.55 WIB, seluruh isi rumah keluar takut-takut gentengnya ambruk. Ternyata orang-orang komplek sudah pada keluar rumah, semua tampak dengan muka pucatnya. Ucapan-ucapan meletusnya gunung merapi keluar dari beberapa orang, demikian pula aku mengira-ngira bahwa isu gunung merapi itu benar. “Oh Jesus Christ forgive my sin, how great are U!”. Kemudian aku teringat sesuatu, aku sibuk mencari HP-ku dan menelpon dia, seseorang yang sempat masuk dalam bunga tidurku beberapa jam lalu, tapi jaringan benar-benar mati total. Aku mencoba sms dia dan menanyakan kabarnya. Entah mengapa aku begitu khawatir.

Sempat terdengar isu tsunami sesaat setelah gempa sehingga membuat warga panik. Namun, keadaan ini kembali mereda setelah ditegaskan oleh BMG dan Sri Sultan Hamengkubuwono X bahwa isu tersebut tidak benar. Jaringan telepon, selular dan listrik juga sempat terputus untuk beberapa jam menyebabkan jalur komunikasi lumpuh.

Sepertinya ujian ini akan batal, padahal aku sudah mempersiapkan materi presentasiku dengan matang (i think so). Kampus tampak sepi, gedung kampus masih baru, tapi kelihatan retak diterkam gempa 5,9 skala richer, luar biasa. Beberapa teman dan dosen berkumpul di parkiran kampus. Aku melihat dia duduk tak jauh dari hadapanku.”Oh syukurlah dia selamat”, ucapku dalam hati. Semua mulai sibuk ingin berkeliling Jogja melihat apa yang terjadi, kami bersiap hunting foto merekam potret Jogja yang menangis saat itu.

Ternyata pusat gempa bukan dari arah utara gunung Merapi tapi berada pada jarak 25 km dari pantai selatan dengan kedalaman mencapai 17 km. Wilayah terparah di kabupaten Bantul dengan korban mencapai lebih dari 2000 jiwa. Data ini kuperoleh saat mencari informasi di RS Bethesda, tempat yang membuat hatiku menangis saat itu. Deru tangis orang-orang yang luntang lantung serta berlumuran darah menghiasi lantai rumah sakit yang tidak mampu lagi menampung pasien Aku menyusuri setiap lorong, mencium bau darah yang bertetesan dimana-mana, beberapa orang mendadak gila sibuk tertawa dan berbicara dengan dirinya sendiri. Sementara aku sepatutnya mengucap syukur atas penyertaan Tuhan yang dahsyat. Sampai pukul 15.00 WIB sudah terjadi 85 kali gempa susulan namun yang terasa hanya 4 kali. Dan proses evakuasi terus dilakukan karena masih banyak korban yang belum ditemukan diantara reruntuhan rumah.  

Kami hanya saling menolong dan berpikir bagaimana bisa melakukan sesuatu untuk membantu. Bersama teman-teman BEM kami mengumpulkan dana di jalan-jalan dan menjadi relawan di rumah sakit. 3 hari aku membantu di RS Bethesda dibidang logistik, membantu memasak di dapur umum dan membagikan makanan bagi pasien-pasien di rumah sakit. Malam itu hujan begitu derasnya disertai gempa kecil, suasana rumah sakit sungguh suram, kondisi genteng bocor dimana-mana, para pasien kedinginan, seorang ibu memohon-mohon padaku meminta sehelai kain untuk menggantikan bajunya yang lusuh. Oh Tuhan...

Beberapa hari itu pula aku bersama dia, beberapa kali kami saling beradu pandang, tapi beberapa kali pula aku merasa ragu dan terus menerka apa arti tatapan itu. Saat itu kampanye dia meraih posisi ketua HMPS, tapi saat itu pula tidak penting lagi baginya sebuah kekuasaan selain peduli pada sesama. Dan setelah itu aku berangkat magang ke Jakarta, pergi menuju tempat impianku dengan segala kebimbangan, meninggalkannya dan kota Jogja yang sedang menangis. Inilah awal proses betapa aku menyadari .. dia mencintaiku.....

To be continue..

No comments:

Post a Comment