Thursday, June 12, 2008

Sinetron Cinta Fitri: Subordinat Perempuan, Kekuasaan Laki-laki

Bias Gender dalam Sinetron

“Fitri, kamu tuh jadi perempuan harus nurut, jangan keras kepala gitu dunk......”

Petikan tersebut dikatakan oleh Mama Lia, Ibu Farrel dalam sinetron Cinta Fitri yang diputar setiap hari pkl. 22.00 di SCTV. Saya sungguh-sungguh prihatin dengan kondisi pertelevisian Indonesia, khususnya dengan banyaknya sinetron TV yang belum mengantarkan pesan budaya yang pas dan adil buat perempuan. Saya juga sering merasa miris pada penulis dan sutradara sinetron tersebut, meski acting pemainnya bagus namun pesan nampak sekali menyudutkan perempuan. Mungkin orang-orang akan menangkis pernyataan saya “sinetron aja kok dipermasalahkan – itu kan bukan fakta”. Sadar atau tidak, efek kultivasi dalam menonton film sangat kuat mempengaruhi pola berpikir dan pembentukan ideology penonton (hegemoni media). Maka dengan kondisi persinetronan yang semakin tidak berpihak pada perempuan akan terus menumbuhkan bias gender dalam pemahaman masyarakat.

Bagi teman-teman yang pernah menonton Cinta Fitri, dalam penokohan di sinetron Cinta Fitri, jelas terlihat bahwa laki-laki (Farrel, Papi/Pak Hutama, Aldo) digambarkan sebagai yang paling rasional, bermoral, bertanggungjawab, eksis di ranah publik, memiliki sikap-sikap dan karakter-karakter yang baik. Sedangkan Fitri, Mami Lia, Oma, Keyla digambarkan dengan mudah emosi, tidak rasional dan tinggal dalam lingkup domestic (rumah). Tokoh utama dalam sinetron ini yaitu Fitri sesuai dengan ideology patriarki “perempuan seharusnya” yang digambarkan sebagai yang hampir sempurna (dalam kacamata laki-laki), baik hati, menurut pada suami, pemaaf, rela berkorban, tetapi selalu menderita. Tokoh Fitri (Shieren Sungkar) terlalu baik dan sabar sehingga terkesan terlalu bodoh sampai tidak bisa mengambil kontrol dalam hidupnya, Fitri bahkan digambarkan sebagai sosok yang lugu tapi pembawa petaka.

Perempuan juga digambarkan sebagai mertua yang galak, bengis dan emosional (Mama Lia dan Oma). Seperti dalam sinetron Intan di RCTI, perempuan di sinetron 'Cinta Fitri' adalah pembenci perempuan lainnya atas 'ketidaksempurnaannya', dimana Fitri tidak bisa hamil. Oma membenci Fitri karena tidak bisa memberikan keturunan untuk Farrel, karenanya dia “dianggap” bukan istri yang sempurna.

Pak Hutama dan mama Lia memiliki 3 orang anak yaitu Maya, Farrel dan Keyla. Maya dan Keyla sudah memberikan cucu bagi mereka. Namun, anak Farrel adalah cucu yang paling diharapkan bagi keluarga pak Hutama karena Farrel adalah anak laki-laki satu-satunya (so what????)

Bentuk kekuasaan laki-laki semakin di perkuat saat Fitri difitnah berselingkuh, dan Farrel serta keluarganya mengusirnya karena dianggap bukan istri yang layak. Namun kemudian saat mereka bersatu kembali Farrel tertangkap telah menghamili Mischa (mantan pacarnya). Keluarga Farrel sempat marah, tapi karena ketabahan Fitri, ia memaafkan Farrel bahkan berniat membesarkan anak Farrel dan Misca.

Ketidakadilan gender ini menguatkan subordinat perempuan dan kekuasaan laki-laki. Jika perempuan berbuat salah maka dia benar-benar di cap “busuk dan tidak layak” sedangkan Farrel sebagai laki-laki jika berbuat salah maka dianggap sebagai kekhilafan semata. Hal ini dialami pula oleh Keyla, adik Farrel, saat dia ketahuan selingkuh, keluarganya langsung mengusirnya dan Aldo (suaminya) berjanji tidak akan memaafkannya. Kalo disimak baik-baik bukankah Farrel juga harusnya diusir seperti Keyla dan Fitri, karena kasusnya selingkuh? Ni malah si Mischa pada akhirnya tinggal di rumah Farrel karena anak dalam kandungannya keturunan Farrel. Kisah ini merupakan ideology maskulinitas yang menggambarkan bahwa ada kemudahan bagi laki-laki jika berselingkuh. Bentuk subordinat itu juga dialami Maya (anak pertama pak Hutama) juga mengalami konflik tersendiri, dimana ia harus mengorbankan kariernya demi rumah tangganya. Seringkali public menganggap kehancuran rumah tangga karena pihak perempuan terlalu sibuk bekerja dan anak terabaikan.

Pada sinetron ini saya melihat penulis & sutradara (sadar atau tidak) memiliki kebencian pada perempuan yang ditokohi oleh perempuan. Sebaliknya pula, penulis mengharumkan peran laki-laki dan menciptakan image yang baik pada laki-laki. Sangat tampak penulis dan sutradara (Hilman & Encep)menguatkan nilai maskulinitas dengan menganggap rendah perempuan.

Tontonan ini saya rasa pasti banyak di tonton oleh perempuan. Amat disayangkan jika perempuan maupun laki-laki tidak menyadari isu ketidakadilan gender didalamnya. Penonton yang melihat sinetron ini secara mentah-mentah akan pasrah terhadap hidupnya untuk terus dijajah ideology-ideologi patriarki yang memojokkan perempuan. Saya bermimpi dan merindukan film TV Indonesia yang melibatkan perempuan sebagaimana perempuan adanya: yang tidak cantik, yang tidak blo'on dan bebas, yang tidak dikontrol terus oleh kemauan laki-laki, yang berprofesi tinggi atau ibu rumah tangga yang produktif dan tidak selalu nelangsa. Seharusnya perlu ditambah sutradara-sutradara perempuan yang mau memperjuangkan nasib-nasib perempuan agar warga Indonesia bisa melek dan sadar gender.

 

Kenapa Harus di Permasalahkan?

Pengungkapan masalah perempuan dengan menggunakan perspektif gender sering mengalami polemik pro dan kontra tidak hanya oleh laki-laki tapi bahkan perempuan itu sendiri. Banyak pihak yang menganggap bahwa perjuangan kesetaraan gender menyudutkan posisi laki-laki. Beberapa anggapan menerka bahwa hal ini merupakan serangan dan penjajahan atas peran dan kedudukan laki-laki yang selama ini selalu kuat. Padahal pemahaman wacana gender bukan sesempit itu. Kesetaraan gender memiliki definisi yang jamak, tergantung pada setiap pribadi yang memaknainya sesuai tujuan dan kasusnya.

Kesetaraan bukanlah mengambil posisi suami sebagai kepala rumah tangga, kesetaraan bukan pula memposisikan perempuan berada di atas laki-laki. Kesetaraan bukan pula bicara ambisi perebutan kekuasaan bahwa perempuan berada di atas atau sebaliknya. Kesetaraan gender mengupas mengenai hak sebagai MANUSIA. Berikut beberapa perbincangan saya dengan bekas teman kerja sama di Jogja yang sekarang di Jakarta melalui chat online 9 bulan yang lalu:

Aku : “mang dah dapat kerja?”
Dia  : “belum.., loe gmn?”
Aku : “blm, tapi sie gua sabar n nyantai ajah, gue sih berserah ma yang di atas”
Dia  : “Ya iyalah loe enak cewek, punya titik aman, gue cowok harus cepet dapat kerja”
Aku : “Gue juga kale....gue juga tulang punggung keluarga”
Dia  : “ya, tapi cewek kan punya titik aman, ntar loe juga ikut suami, loe ga harus kerja keras”

Waduh ilfeel banget deh ma cowok kayak gini, cape deh....sempit banget mikirnya, moga aja dia dapet cewe mandiri deh,  kasian ntar kena batunya. Tapi saya tetap melanjutkan: 

Aku : Rasanya ga ada yg bedain deh antara cewe n cowo. Kita kan sama-sama berjuang hidup.
Dia  : “Iya sama, tapi ya titik aman itu, kita para cowo harus kerja keras, kalo cewe pikirin ajah dapur ma ranjang (hi..hi...hi..)”
Aku : “sekarang gue mau tanya deh, loe punya cita-cita ga?”
Dia : “ punya lah...”
Aku : “loe pasti perjuangkan itu kan?”
Dia : “Iyalah..”
Aku : “Gue juga sama, gue punya cita-cita, n gua akan perjuangkan itu. Apa gue harus korbankan itu hanya karena gue perempuan???”

Dari pembicaraan itu dia cukup terdiam, nah itu case bias gender yang terjadi dalam pemahaman masyarakat kita yang sudah terpatriarki. Bukan terkait dengan perebutan kekuasaan tadi, tapi HAK ASASI MANUSIA. Jikalau laki-laki bisa meraih cita-citanya, kenapa perempuan tidak boleh meraih cita-citanya?. Ada sebagian perempuan yang bercita-cita ingin mengabdi pada keluarga, menjadi istri dan ibu dalam rumah tangganya, sejauh itu bukan pemaksaan dan tuntutan “peran perempuan” itu bukanlah pelanggaran hak asasi manusia. Namun ada beberapa perempuan yang juga ingin mengabdikan diri masyarakat baik di bidang politik, ekonomi, social maupun budaya. Jika mereka mampu mengapa tidak?.

Bagaimana dengan rumah, siapa yang menjaga anak? Begitu pertanyaan yang pernah menyerang saya. Jawaban itu simple, meski saya belum menikah, saya yakin pernikahan itu sebenarnya adalah sebuah negosiasi. Jika ada istilah Ibu rumah tangga, maka harus adapula istilah Bapak rumah tangga. Saat suami dan istri berada di rumah, semua urusan rumah tangga dan anak adalah urusan bersama. Emmm, seperti membahas ini terlalu jauh yah..tapi terkait dengan sinetron Cinta Fitri yang mengisahkan rumah tangga saya rasa nyambung-nyambung ajah.

 www.t1r4.wordpress.com

1 comment:

  1. Dari judulnya aja aku bisa nangkap ini sekali lagi tentang gender...
    hehehee... kamu ini emang hobby banget ya bahas masalah gender..
    Gimana taggapanmu denger geng nero kemarin?
    persamaan gender kah ini? keren banget lihat polah mereka...

    ReplyDelete