Thursday, May 15, 2008

Awal Petualangan di Negeri Liukan Sungai ...

Borneo, bentang alam peraduan hutan dan sungai, kalimat itu terlintas dari pikiran saya saat terpana melihat dari balik jendela pesawat uniknya bumi Kalimantan menjelang landing di Bandara Tjilik Riwut. Barisan pohon dan sungai yang meliuk-liuk bagaikan kumpulan ular raksasa membuat saya tersihir seakan berada di belantara Tarzan. Rasanya tak salah kalau saya sebut bumi Kalimantan sebagai Negeri liukan sungai. Dimana-mana, dikelilingi hutan, rawa, sungai dan spesies khas-nya Orang Utan. Sesampainya, pemandangan hijau menyegarkan yang saya lihat tadi ternyata sangat bertolak belakang dengan kondisi udara di darat. Cuaca kota Palangkaraya sangat panas. Kalau melihat sepanjang jalan, kondisi tanahnya berpasir seperti di pantai di tambah dengan terik sinar matahari, membuat badan kegerahan. Karena tanahnya berlahan gambut, jangan harap bisa melihat sawah di Palangkaraya.

Inilah awal petualangan saya, jauh berbeda dengan Jawa, inilah menariknya Kalimantan, untuk menuju ke suatu tempat, kita harus berpindah transportasi baik darat maupun air. Seperti kisah perjalanan ini di Desa Bereng, Kab. Pulang Pisau, Sungai Rungan, Tangkiling serta SSI Sebangau.

SSI Sebangau & Mie Goreng ala Basecamp WWF

Letaknya kurang lebih 34 km dari kota Palangkaraya. Kami harus melewati jalur air menuju kawasan SSI (Sinatra Sebangau Indah) Taman Nasional Sebangau dalam waktu dua jam. Longboat 200 pk kami melaju cepat meninggalkan Dermaga Kereng, memotong sungai Sebangau dimana disekeliling kami tumbuh Rasau. Tumbuhannya dari jauh mirip seperti daun pandan, hati-hati menyentuhnya karena pinggiran daunnya penuh duri. Sesekali burung Engang lewat diatas kami, sementara tampak dipinggiran sungai Sebangau yang kami lalui tampak hamparan hutan gundul dan sisa-sisa kebakaran hutan beberapa tahun yang lalu. Sepanjang perjalanan terkantuk-kantuk saya melihat arus air yang dilawan oleh boat kami dan kemudian berlalu terbawa aliran lainnya.

Sesampai di SSI, kami bertemu dengan teman-teman basecamp. Disepanjang lokasi tersebut kita akan melihat pembibitan dan blocking  kanal yang di buat oleh WWF. Penabatan ini dilakukan karena lokasi eks perusahaan Sinatra Sebangau Indah ini sangat rawan akan kebakaran di musim kemarau. Selepas melihat dan menikmati pemandangan, kami di jamu dengan mie goreng buatan para pria di basecamp ini. Emmm…meski mie instant biasa, tapi mereka memasaknya dengan kreatif menambahkan lauk lainnya. Rasanya lezat sekali, mungkin karena saya sangat mengagumi pria yang mandiri dalam memasak. He…

Desa Bereng – Pulang Pisau, Langka Air Bersih

Mengisi hari libur, saya pergi ke suatu daerah di kabupaten Pulang Pisau yaitu desa Bereng. Kurang lebih dua jam perjalanan dengan mobil melewati jembatan Kahayan. Tidak ada yang special dari desa ini, justru jalannya masih rusak dan penduduknya hidup sangat sederhana sekali. Ada beberapa saudara  saya yang masih tinggal disana. Saat meletakkan travel bag, saya tergesa melihat sungai disamping rumah kayu kami. Samar-samar teringat keadaan 17 belas tahun lalu saat usia saya 5 tahun sedang asyik berenang di tepian sungai jernih. Waktu kecil, ibu memang pernah mengajak saya liburan kesini, tapi tampaknya saat itu air sungai tidak sekeruh sekarang. Sangat mengkhawatirkan memang mengapa masalah air bersih didesa ini kurang diperhatikan oleh LSM dan pemerintah, entah penduduknya sendiri yang terbiasa mengkonsumsi air sungai. Saya jadi teringat dengan petualangan saya di Gunung Kidul, DIY Jogja, air menjadi satu hal yang jadi masalah bagi masyarakat setempat.

Menjelang malam sebelum matahari terbenam wajah Desa Bereng Pulang Pisau menjadi begitu cantik. Didepan hamparan sungai, matahari sore itu bergaya manis memerahkan awan-awan sekitarnya. Saya terduduk di dermaga depan rumah sambil memperhatikan perahu dayung yang lalu lalang di depan kami. Wah, ini memang saat-saat yang paling berkesan, sepertinya ini adalah obat terbaik untuk mengatasi kepenatan dan kebosanan riuh dan gaduhnya kota.

Wisata Susur Sungai Rungan, Tangkiling

Lokasinya berada kurang lebih KM 34 sebelah baratlaut Palangkaraya . Dengan berkendaraan mobil dapat dicapai sekitar 30-40 menit dari Palangkaraya. Sejak seminggu menetap di negeri liukan sungai ini, saya terkesima melihat potensi wisata yang sayangnya kurang di blow-up dan pelayanannya kurang dimaksimalkan seperti treking, berkemah, mengamati burung dan orang utan, menyusuri sungai, mancing, dan sebagainya. Anda tidak akan temukan ini di Pulau Jawa, karena justru wisata adventure dan outbond inilah yang patut dibanggakan Kalimantan. Kami sampai di dermaga Tangkiling, sungguh tidak terlintas di pikiran saya bahwa disini terdapat kapal pesiar yang luar biasa cantiknya. Kapal wisata berkonstruksi kayu yang dinamai Rahai'i Pangun milik Lorna Dowson Collin, Partner Director Kalimantan Tour Destinations (KTD)  ini mampu dimuati hingga 25 orang. Kapal ini terdiri dari dua lantai dilengkapi lima dobel kabin dan kamar mandi ala Barat, terletak di bawah dek yang besar.

Dari atas kapal, wisatawan dapat menikmati sajian makanan sembari melihat pemandangan hutan dan alam di sepanjang aliran sungai. Sungai  Rungan mengalir sangat tenang. Sore itu disamping kanan dan kiri sungai, orang utan bebas bergelantungan menikmati ekosistemnya. Menurut cerita Pak Anton, awak kapal tersebut kalau kita melakukan perjalanan sungai pada pagi hari, memberi peluang untuk melihat Burung Tingang (hornbill), Elang, Pekakak (kingfisher), dan kera berhidung panjang (bekantan). Kemudian kami melewati Pulau Kaja, tempat dimana orang hutan di sekolahkan. Mereka setiap hari dibawa ketempat ini supaya menjadi liar. Bisa dikata bahwa orang utan ini harus bisa mandiri dan menjadi “truly orang utan” lagi setelah terlalu lama bergaul dengan manusia, he…he...

Pak Anton menunjukkan kami beberapa titik air yang ada arus bawahnya.  Titik itu sangat berbahaya karena dari permukaan memang tampak tenang namun didalamnya arus sangat kuat. Ini sangat berbahaya jika tidak menguasai lapangan. Tidak jauh dari situ tampak  deretan bukit Tangkiling, sangat jarang melihat dataran tinggi disini, bukit ini menjadi sarana wisata yang pas untuk berlibur orang Palangka Raya. Sepintas saya pikir nama Tangkiling sangat unik, identik dengan sesuatu yang bernuansa oriental. Ternyata benar, kata Pak Anton nama Tangkiling ini berasal dari nama orang dari Vietnam-Cina yang datang ke daerah ini. Hari menjelang malam, kapal kami kembali berlabuh. Anak-anak kecil yang tinggal sekitar situ menyambut kami. Kisah perjalanan hari ini menjadi cerita manis dan layak untuk dipublikasikan.

“Hidden Treasure”, Yang tersembunyi di Keruwing

                Seperti juga suatu zat, ia pun melebur dan luruh dengan alam. Menjadi satu kesatuan dalam interaksi. Padu. Manusia dan alam, begitu erat dan begitu kuat. Air dan hutan menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi penduduk lokal dayak. Habitat orang Dayak pedalaman, rumah-rumah disekitar pinggiran sungai, budaya Nabekas, upacara Tiwah, Tari Manasai merupakan refleksi kearifan lokal, menunjukkan betapa manusia bukanlah mahluk berkuasa, bukan mampu menaklukkan alam tapi bekerjasama dengan alam.

Perjalanan yang seolah menjadikan saya great adventuress. Desa ini berada 4 jam dari kota Palangkaraya. Satu jam melalui jalan darat (Palangkaraya-Kasongan), tiga jam lagi di tempuh melalui jalan air (Kasongan-Keruing & Jahanjang). Dari desa Keruwing kami bergerak menuju tempat yang rencananya menjadi salah satu tempat ekowisata yaitu danau Punggualas. Dengan menaiki kelotok kami melewati anak sungai Katingan yang disebut Sungai Punggualas. Disepanjang aliran sungau yang kami selusuri, terdapat banyak tumbuhan rungas, langkai, kayu gemor, kampung gagas, kayu blengeran dan banyak yang tak terserap oleh ingatan saya. Dibeberapa bagian terdapat keramba, alat menangkap ikan warga setempat. Kami meminta awak perahu untuk mematikan mesin, saya mencoba memejamkan mata dan rasakan desir angin yang berbeda, bau sekitar pun benar-benar bau alam. Dibalik rerimbunan itu terdengar suara burung berteriak memecah kesunyian hutan ini.

Satu jam perjalanan kami menelusuri sungai menuju danau itu. Dan saya merasa menjadi salah satu orang yang beruntung untuk melihat “Hidden Treasure” di Desa Keruwing, begitu kira-kira saya menyebut daerah ini. Meski ada isu terdapat emas yang dibawa penjajah belanda jaman dulu, harta benda terpendam yang saya maksud adalah tempat indah ini yang belum dilihat oleh dunia. Tempatnya benar-benar tersembunyi, jarang terjamah kecuali penduduk setempat. Danau ini tidak terlalu luas, kata penduduk setempat dua tahun lalu tempat ini cukup ramai HPH. Pantas saja, dibeberapa bagian sudut tempat ini tampak bekas bangunan dari kayu. Penduduk menerka-nerka bahwa didalam danau ini terdapat sungai bawah tanah, karena meski Sungai Katingan surut, danau ini tidak pernah surut meski di musim kemarau. Mitosnya, ditengah danau ini terdapat buaya yang keluar jika hujan turun ditengah terik matahari sehingga jangan berharap untuk mandi didanau ini.

Hari menjelang malam, matahari mulai ijin kembali kepersembunyiannya. Pepohonan tinggi diatas kami tampak kekuning-kuningan terkena terpaan cahaya. Kemudian tampak kegerombolan kelelawar keluar dari sarangnya melintas beberapa kaki diatas kami. Kami sempat bertemu monyet, yang wajahnya terkaget melihat kami (saya jadi bingung apa nie maksudnya…jangan-jangan dia kaget karena ada yang mirip.ha25x). Selamat malam Borneo, bawalah aku kembali menuju tempat Hidden Treasure-mu yang lain.


(Tira)

 

1 comment: